VIRAL TANPA MORAL: Ketika Populeritas Mengalahkan Etika, DI Tengah Masyarakat Dengan SDM Rendah

VIRAL TANPA MORAL : Ketika Populeritas Mengalahkan Etika,TikTok, YouTube, dan Instagram harus lebih ketat menindak konten Dampak Negatif lebih penting

 

VIRAL TANPA MORAL: KETIKA POPULERITAS MENGALAHKAN ETIKA, DI TENGAH MASYARAKAT DENGAN SDM RENDAH
Ilustrasi Viral Tanpa moral

Viral Tanpa Moral: Fenomena yang Mengkhawatirkan di Era Digital

VIRAL TANPA MORAL: Ketika Populeritas Mengalahkan Etika, DI Tengah Masyarakat Dengan SDM Rendah

Di era digital seperti sekarang, menjadi viral di media sosial adalah impian banyak orang—mulai dari selebgram, konten kreator, hingga masyarakat biasa. Namun, di balik tren ini, muncul fenomena yang memprihatinkan: "viral tanpa moral" semakin marak, terutama di masyarakat dengan Sumber Daya Manusia (SDM) rendah. Banyak orang rela mengorbankan etika dan nilai sosial demi mendapatkan perhatian, bahkan jika harus melanggar norma sosial, menyebar konten provokatif, atau merugikan orang lain.

Mengapa Banyak Orang Ingin Viral Tanpa Moral?

Budaya Instan dan Rendahnya Literasi Digital

Banyak masyarakat dengan keterbatasan ekonomi melihat viralitas sebagai peluang untuk menghasilkan uang cepat, tanpa peduli metode yang digunakan. Di daerah dengan tingkat pendidikan rendah, banyak orang belum memahami dampak jangka panjang dari konten viral yang tidak etis. Mereka hanya melihat viral sebagai jalan pintas untuk mendapat uang, ketenaran, atau pengakuan sosial.

Popularitas = Uang

Viral berarti eksposur besar, yang bisa diubah menjadi pendapatan melalui endorsemen, iklan, atau monetisasi konten. Banyak yang berpikir, "Lebih baik terkenal karena kontroversi daripada tidak dikenal sama sekali."

Ekonomi yang Sulit Memicu Eksploitasi Konten

Banyak masyarakat dengan keterbatasan ekonomi melihat viralitas sebagai peluang untuk menghasilkan uang cepat, tanpa peduli metode yang digunakan.

Budaya Clout Chasing

Istilah clout chasing merujuk pada tindakan mencari ketenaran dengan cara apa pun, termasuk memanipulasi isu sensitif seperti agama, politik, atau masalah sosial. Contoh: Selebgram yang sengaja membuat konten kontroversial tentang jalan rusak di suatu daerah hanya untuk dapat engagement, tanpa benar-benar peduli pada solusi.

Lemahnya Pemahaman tentang Etika & Tanggung Jawab Sosial

Jika pendidikan moral dan etika tidak diajarkan dengan baik, masyarakat cenderung mengabaikan batasan dalam membuat konten. Beberapa orang tidak memikirkan dampak dari konten mereka, seperti hoaks, ujaran kebencian, atau eksploitasi isu sensitif. Mereka hanya ingin "likes" dan "shares", tanpa peduli apakah konten mereka merugikan orang lain.

Algoritma Media Sosial yang Memicu Konten Sensasional

Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube lebih sering mempromosikan konten kontroversial karena engagement tinggi. Orang-orang dengan SDM rendah sering kali terjebak dalam pola ini tanpa menyadari konsekuensinya.

Contoh Nyata: Viral Tanpa Moral

Eksploitasi Isu Sosial

Beberapa selebgram sengaja memposting kondisi jalan rusak dengan gaya drama berlebihan hanya untuk dapat sorotan, padahal tidak memberikan solusi nyata.

Hoaks dan Konten Provokatif

Banyak yang sengaja menyebar berita palsu atau konten SARA demi meningkatkan engagement, meski berpotensi memicu konflik.

"Challenge" Berbahaya

Tren seperti Tide Pod Challenge atau aksi nekat di tempat umum demi konten TikTok bisa membahayakan nyawa.

Dampak Negatif Viral Tanpa Moral di Tengah Masyarakat SDM Rendah

  • Menyuburkan Hoaks & Mempersulit Pencerdasan Publik: Jika viralitas dianggap lebih penting daripada moral, masyarakat bisa terbiasa dengan konten-konten tidak bertanggung jawab. Konten palsu atau provokatif menyesatkan masyarakat yang belum memiliki kemampuan literasi digital yang baik.
  • Meningkatnya Hoaks dan Ujaran Kebencian: Banyak yang sengaja membuat konten provokatif hanya untuk dapat engagement, tanpa peduli kebenaran.
  • Eksploitasi Isu Sosial untuk Kepentingan Pribadi: Masalah nyata seperti kemiskinan, infrastruktur buruk, atau ketidakadilan sosial hanya dijadikan bahan konten tanpa solusi konkret. Eksploitasi isu sensitif (kemiskinan, SARA, politik) demi konten bisa memicu konflik horizontal.
  • Membuat Masyarakat Semakin Konsumtif dan Tidak Kritis: Alih-alih mencari solusi nyata, orang hanya terpaku pada hiburan murahan yang tidak mendidik.
  • Memicu Perilaku "Apa Pun Demi Like": Tantangan berbahaya, aksi kriminal yang difilmkan, atau eksploitasi anak-anak menjadi tren tanpa memikirkan risiko.

Bagaimana Memutus Rantai Viral Tanpa Moral?

  • Peningkatan Literasi Digital & Pendidikan Moral: Sosialisasi penggunaan media sosial yang bertanggung jawab sejak dini. Sekolah dan komunitas perlu lebih aktif mengedukasi masyarakat.
  • Regulasi Tegas dari Platform Digital: TikTok, YouTube, dan Instagram harus lebih ketat menindak konten yang melanggar etika dan norma sosial.
  • Peran Influencer & Pemuka Masyarakat dalam Menyebarkan Konten Positif: Figur publik seharusnya menjadi contoh dalam membuat konten yang bermanfaat, bukan sekadar sensasional.
  • Masyarakat Harus Lebih Kritis: Jangan mudah terprovokasi oleh konten viral, selalu verifikasi kebenarannya sebelum membagikan.

Kesimpulan

Fenomena "viral tanpa moral" adalah cermin dari masalah sosial yang lebih besar—rendahnya SDM dan literasi digital. Jika dibiarkan, budaya ini akan semakin merusak tatanan masyarakat. Perlu sinergi antara pemerintah, platform media sosial, edukator, dan masyarakat untuk mengubah pola pikir: "Viral boleh, asal tidak menghancurkan nilai kemanusiaan."

About the author

Alwi Ismail
Pemuda Desa yang menyukai Sosial & Politik, Wisata dan Teknologi Serta Hal Hal Baru Berbau Tantangan... Bermimpi membantu semua orang tapi realitanya hmmm..

Post a Comment